Asap dan Sengsara
Oleh: Jalal.
Reader on Political Economy and Corporate Governance Thamrin School of Climate Change and Sustainability.. |
Indonesia tengah menghadapi dua bencana asap sekaligus. Yang pertama merupakan bencana ‘hibrida’, kombinasi antara campur tangan manusia dengan alam. Yang kedua sepenuhnya buatan manusia. Yang pertama merupakan bencana yang punya semacam ulang tahun, kecuali di waktu-waktu tertentu ia bisa tak hadir. Yang kedua terus menerus terjadi, tak putus-putus, dan cenderung menjadi semakin buruk.
Yang pertama tampaknya sedang tampak diurusi dengan serius oleh Pemerintah. Yang kedua sedang diperburuk situasinya oleh Parlemen. Keduanya melibatkan aktor dalam dan luar negeri, dengan pembagian peran yang tampak sangat jelas.
Kebakaran Hutan dan Lahan
Mari kita bicarakan bencana asap yang pertama. Betul! Asap kebakaran hutan dan lahan. Biasa disingkat karhutla. Banyak pihak yang menyatakan bahwa bila belahan dunia sedang mengalami musim kering, lalu diperparah dengan El Nino, maka peluang kebakaran hutan dan lahan menjadi meningkat. Bisa jadi begitu, namun penting untuk diingat bahwa si bocah nakal bernama El Nino itu tak pernah membawa korek. ‘Sang bocah’ tidak memantik api. Mungkin ada kebakaran hutan yang dipicu oleh kilat, tapi itu tak berapa banyak. Apalagi kilat itu tak sering-sering muncul di musim kering.
Partisipasi manusia dalam kebakaran hutan dan lahan jelas lebih tinggi proporsinya. Manusia modernlah yang membuka hutan dengan ceroboh. Dahulu, ketika masyarakat adat tinggal di hutan-hutan mereka melakukan perladangan berotasi. Mereka membakar hutan untuk membuka lahan, dan memanen rabuk buat tanaman mereka. Tak pernah terdengar kasus hutan terbakar lantaran mereka. Tetapi, ketika modernisasi pengelolaan hutan dilakukan, HPH masuk ke tanah-tanah adat maupun tanah yang tak bertuan, transmigrasi merambah hutan, bencana kebakaran mulai terjadi. Lebih buruk lagi, ketika hutan-hutan dibuka untuk pencetakan sawah, untuk pertambangan, dan untuk perkebunan, bencana kebakaran semakin sering terdengar.
Tampaknya sejak hutan Kalimantan terbakar hebat di tahun 1997, karhutla jadi tamu tahunan, kecuali ketika La Nina yang datang. Perempuan kecil ini membawa banyak air, dan hutan serta lahan kitapun aman dari api. Pernah suatu ketika seorang Menteri Kehutanan di kabinet yang lampau mengklaim keberhasilan menurunkan titik api, dengan membandingkan kondisi tahun itu (yang basah) versus tahun sebelumnya (yang kering). Sontak saja banyak pihak yang paham memberi pelajaran yang berharga kepada si Menteri. Bukan dia atau atasannya—yang ia sebut-sebut ketika itu—yang pantas menerima pujian, melainkan Allah atau alam, yang memang membuat kondisi kita jadi lebih baik. Mengakui hasil karya Allah atau alam sebagai hasil kerja kementeriannya tentu tak elok.
Yang mengesalkan banyak Kebakaran lahan gambut di Kalbar. Walhi, menilai, dalam mengatasi kebakaran hutan dan lahan yang berulang, pemerintah hanya ribut pada soal pemadaman, bukan pada pokok persoalan, pihak adalah bahwa kejadian ini terus saja terjadi. Seperti tak ada pelajaran yang bisa diambil dalam 18 tahun yang menyengsarakan ini. Tampaknya, semua hal dilupakan ketika hujan telah mulai turun, sampai kemudian hal itu terjadi lagi di musim kering tahun berikutnya. Begitu yang terjadi terus menerus. Penanganannya sendiri tampak sporadis, berfokus pada pemadaman ketika titik api sudah banyak, dan asap sudah mencekik seluruh sistem pernafasan masyarakat. Kalau belum seperti itu, tampaknya semua pihak adem ayem saja.
Tetapi itu sebetulnya tak tepat betul. Presiden SBY telah membuat banyak kemajuan dengan menegakkan moratorium penebangan hutan. Di masa kepemimpinannya pula rehabilitasi lahan yang rusak banyak dilakukan lewat berbagai program seperti ‘penanaman 1 milyar pohon’ yang melibatkan beragam pemangku kepentingan. Satgas REDD+, lalu berubah menjadi BP REDD+, juga dibentuk dan menjalankan banyak upaya memperbaiki kondisi hutan yang telah centang perenang.
Presiden Jokowi juga demikian. Salah satu blusukan pertamanya adalah ke lokasi langganan karhutla di Riau, dan beliau memerintahkan berbagai tindakan konkret. Sayangnya, aparatnya belum tampak cukup sigap melaksanakan apa yang Sang Komandan perintahkan, bahkan beberapa kali terekam berita mereka melakukan sandiwara seolah bekerja. Untungnya, di sisi hukum kita lihat kemajuan yang sangat dahsyat. Kallista Alam dinyatakan terbukti membakar hutan dan dihukum denda Rp366 milyar oleh MA. Ini adalah hukuman terberat bagi kejahatan lingkungan yang pernah kita catat.
Presiden Jokowi didampingi Abdul Manan dan masyarakat Desa Sei Tohor, Pulau Tebing Tinggi, Riau. secara simbolis menutup dam kanal air untuk melindungi lahan gambut dari kebakaran hutan. Tebing Tinggi merupakan penghasil sagu terbesar di Indonesia. Foto : Ardiles rante / Greenpeace
Yang sedang antre di sistem pengadilan lebih dahsyat lagi tuntutannya. National Sago Prima (NSP) telah dinyatakan bersalah dan dihukum membayar denda Rp1 trilyun. Tapi mereka masih melakukan kasasi ke MA. Kita lihat saja kelanjutannya. Semoga kita bisa melihat secercah keadilan, dan hasilnya akan membuat korporasi tidak lagi bertindak ceroboh atas hutan dan lahan kita.
Asap Rokok yang Tak Pernah Padam
Tak ada yang alamiah dari soal asap rokok ini. Tentu tembakau berasal dari alam, namun pemanfaatannya sepenuhnya adalah buatan manusia. Budidaya tembakau serta pengolahannya menjadi rokok jenis apapun adalah keputusan dan tindakan manusia. Usianya belum terlampau lama pula. Walaupun menggunakan tembakau itu sudah cukup lama dilakukan oleh masyarakat-masyarakat tradisional, namun budidayanya secara massif datang bersama-sama dengan imperialisme dan kolonialisme. Tembakau adalah tanaman bernilai ekonomi tinggi yang memicu penjajahan manusia atas manusia lain.
Di Indonesia, sejarah mencatat, tembakau dibudidayakan untuk melayani kepentingan pemerintah kolonial Belanda. Tanam paksa atau cultuurstelsel—yang sebetulnya bermakna netral ‘sistem kultivasi’—adalah jalan masuk merebaknya penanaman tembakau di Indonesia. Tanam paksa yang berorientasi ekspor itu kemudian diikuti dengan penanaman untuk konsumsi lokal oleh para pengusaha keturunan Tiongkok yang menjadi pemilik perusahaan-perusahaan rokok di Pulau Jawa. Setelah jumlah perokok menjadi sangat besar di negeri ini, para pemodal asing kemudian kembali berdatangan. Ini membuat Indonesia yang belum memiliki visi perlindungan yang kokoh bagi warganya menjadi surga terakhir industri rokok global.
Berbeda dengan karhutla yang asapnya datang pada waktu-waktu tertentu, asap rokok terus menerus ada. Bukan hanya di tempat-tempat tertentu juga, melainkan di seluruh tempat di Indonesia. Silakan kunjungi tempat-tempat terpencil, dan kita akan melihat asap mengepul dari mulut para perokok, dengan merk-merk yang juga kita bisa dapati di kota-kota besar.
Karena perilaku merokok terjadi terus-menerus, dampak produksi dan konsumsinya juga demikian. Produksi rokok global telah diketahui bertanggung jawab atas deforestasi sebanyak 200 ribu hektare setiap tahun. Ratusan juta pohon hilang karena hutan dibabat untuk budidaya dan pengeringan tembakau yang banyak menggunakan kayu bakar.
Bagaimana dengan Indonesia? Di salah satu provinsi penghasil tembakau, Nusa Tenggara Barat (NTB), telah terjadi deforestasi yang sangat parah lantaran hal ini. Dalam catatan WALHI NTB, sekitar 1,6 juta pohon ditebang setiap tahunnya untuk melanjutkan budidaya dan pengeringan tembakau. Kalau kecenderungan ini berlanjut, WALHI NTB mengkhawatirkan provinsi ini akan benar-benar tak memiliki hutan dalam luasan yang cukup untuk menopang kehidupan masyarakat dalam satu dekade ke depan.
Di sisi konsumsi, sudah banyak diketahui orang dampak kesehatannya. Beragam penyakit tidak menular, kecuali kecelakaan, terkait dengan konsumsi rokok. Tobacco Atlas 2015 mencatat konsumsi rokok membunuh sekurang-kurangnya 217.400 orang Indonesia di tahun 2014, dengan setidaknya 25.000 di antaranya adalah perokok pasif. Kalau dihitung dengan ekonomi kesehatan, pada tahun 2013 biaya kesehatan yang timbul mencapai sedikitnya Rp378,75 triliun. Sementara, pada tahun yang sama, cukai—alias pajak dosa atau sin tax—yang dibayarkan kepada Pemerintah hanyalah Rp103 triliun. Tahun itu Pemerintah dan masyarakat Indonesia tekor Rp275,75 triliun!
Belum lagi biaya-biaya sosial dan lingkungan lain yang timbul. Kalau kita berselancar di Google dengan menggunakan kata kunci ‘rokok kebakaran hutan’, kita akan menemukan banyak sekali kasus. Ini juga menambahi parahnya bencana asap. Belum lagi soal puntungnya yang merupakan bahan non-biodegradable dan mengandung banyak racun. Negeri kita sudah lama menetapkan nikotin sebagai bahan beracun dan berbahaya (B3), tapi puntung rokok tetap bisa dibuang sembarangan tanpa konsekuensi apapun bagi pembuatnya maupun pembuangnya.
Kondisi itu semua akan menjadi semakin buruk kalau kita membiarkan Parlemen bermain mata dengan industri rokok. Dahulu, Presiden SBY sudah menetapkan bahwa seharusnya di tahun 2015 ini jumlah rokok yang diproduksi di Indonesia dibatasi pada angka 260 milyar batang per tahun, dan itu diberlakukan hingga tahun 2020. Dalam Perpres bertajuk Roadmap Industri Hasil Tembakau itu juga dinyatakan bahwa mulai tahun 2015 pertimbangan utamanya adalah kesehatan. Namun, yang sedang dilakukan oleh parlemen benar-benar tidak menghormatinya.
Lewat RUU Pertembakauan dan RUU Kebudayaan, parlemen sedang merancang epidemi tembakau yang jauh lebih dahsyat dibandingkan masa lalu. Kini produksi rokok telah mencapai 362 milyar batang—alias 102 milyar di atas ambang batas yang dibuat oleh Presiden SBY—tapi produksi akan digenjot terus. Di sisi lain, petani dan pekerja tidak mendapatkan perlindungan apa-apa.
Retorika pembelaan terhadap petani dan pekerja terus diluncurkan oleh anggota Parlemen yang mengajukan kedua RUU, namun bila diperiksa satu persatu pasalnya, tak ada sama sekali yang bisa dikatakan sebagai pembelaan itu. Yang ada malahan adalah rancangan untuk memastikan bahwa seluruh pemangku kepentingan di Indonesia menjadi pelayan kepentingan industri rokok, dengan menjamin perusahaan rokok bisa terus meningkatkan produksinya, dan seluruh pihak lain akan menanggung semua ekstrenalitas negatif dari produksi dan konsumsi rokok.
Kepentingan Asing dan Para Komprador
Kita punya kepentingan yang sangat kuat dan mendesak untuk memastikan kondisi keberlanjutan di Indonesia. Untuk itu, kecenderungan destruktif yang menyebabkan dua jenis bencana asap yang menyengsarakan bangsa Indonesia itu harus dibalik. Kondisi yang menyebabkan bencana karhutla telah membuat kita gagal mencapai tujuan 7 dari Millennium Development Goals (MDGs) di tahun ini; sementara produksi dan konsumsi yang menyebabkan bencana asap rokok telah menghambat kita mencapai tujuan 1, 2, 4, 5 dan 7 dari MDGs sekaligus!
Kalau kita cermati tujuan-tujuan dan target Sustainable Development Goals (SDGs), maka kedua bencana asap ini akan membuat kita kesulitan mencapainya lagi di tahun 2030. Tujuan 13 dan 15 jelas akan sangat sulit dicapai bila masalah di belakang karhutla tidak kita selesaikan dengaan tuntas. Tapi, itu tak ada apa-apanya dibandingkan dengan bencana asap rokok. Dua peneliti dari Jerman, van Eichborn dan Tanzmann telah menguliti kaitan antara produksi dan konsumsi rokok dengan tujuan dan target SDGs dengan sangat terperinci.
Hasilnya? Setidaknya 11 dari 17 Tujuan dari 68 dari 169 Target SDGs tak akan bisa dicapai dengan mudah, kalau malah bukan mustahil, bila produksi dan konsumsi rokok tidak dikendalikan. Hal itu dituangkan dalam dokumen yang tajuknya mencerminkan kesimpulan mereka, Tobacco: Antisocial, Unfair, Harmful to the Environment (van Eichborn dan Tanzmann, 2015).
Kalau kemudian kita cermati, seluruh ancaman itu bahkan tidak sepenuhnya datang dari perilaku kita sendiri, warga negara Indonesia. Studi yang dilakukan oleh Transformasi untuk Keadilan Indonesia menemukan bahwa para pemodal asing berada di balik kebun-kebun sawit Indonesia, sektor yang ditengarai banyak terkait dengan kebakaran hutan. Hasil studi yang diberi judul Kuasa Taipan Kelapa Sawit di Indonesia (TUK Indonesia, 2015) menemukan bahwa bank-bank dan investor asing lainnya adalah pemodal besar di balik operasi kebun-kebun dan pabrik pengolahan kelapa sawit di negeri ini. Memang belum tentu kelompok-kelompok besar yang membakar atau membiarkan lahannya terbakar, namun di antara yang sedang berada di proses hukum jelas ada perusahaan-perusahaan sawit yang pemodalnya asing.
Dalam hal ini, lagi-lagi bencana asap rokok lebih berbau kepentingan asing. Pemilik Sampoerna sekarang adalah Philip Morris, dan Bentoel dikuasai oleh BAT. Keduanya sudah lama diketahui sebagai perusahaan dengan pemodal asing yang menguasai pangsa pasar yang cukup besar. Kombinasi keduanya saja sudah mencakup sekitar 43% pangsa pasar rokok Indonesia. Tetapi, pencarian di dunia maya secara selintasan juga memberikan petunjuk-petunjuk awal bahwa sesungguhnya Gudang Garam dan Djarum juga bukanlah lagi merupakan perusahaan nasional. Beberapa situs menunjukkan bahwa sudah lebih dari satu dekade Gudang Garam sebetulnya dimiliki oleh Imperial Tobacco. Sementara, pada periode yang kurang lebih sama, Djarum dibeli oleh Gallaher Group. Gallaher Group sendiri kemudian dibeli oleh Japan Tobacco Internasional (JTI) di tahun 2007. JTI sendiri sudah membeli Wismilak. Kalau pangsa pasar kelima perusahaan ini digabung, proporsi 83% produksi rokok sudah terlampaui.
Tentu, kita tak bisa bersikap anti-asing yang gegabah di masa sekarang. Hubungan dengan pemodal asing juga sangat banyak menguntungkan kita. Namun, kalau pemodal asing itu kemudian menghadirkan bencana-bencana kepada kita, sudah sepantasnya kita bersikap tegas. Demikian juga sikap kita seharusnya kepada para kompradornya yang berkewarganegaraan Indonesia. Kalau kita ingin Indonesia yang berkelanjutan, perilaku mereka harus dihentikan. Kalau kita yakin bahwa bencana asap karhutla akan mereda bila korporasi yang terlibat itu dihukum dengan denda yang mahal, tidakkah kita seharusnya mengupayakan hal yang sama untuk bencana asap rokok? (Sumber: https://www.mongabay.co.id/)