Menikmati Danau Sebangau
Taman Nasional Sebangau! Sudah lama saya ingin ke tempat ini. Namanya demikian akrab di kuping saya, tapi tak pernah saya melihatnya. Dekat di hati dan kuping, tapi jauh di mata.
Sejak kecil, saat duduk di bangku SD, kala masih bersekolah di Palangkaraya, saya sudah mengenal nama Sebangau. Waktu SMP pernah juga, dengan beberapa teman, saya nyaris bersepeda ke tempat ini. Nyaris, karena ada niat, tapi tak sampai. Tidak mungkin bisa ke sana, karena selain jauh, jalannya pun melewati hutan-hutan. Dan kami tahu di hutan itu bisa saja muncul binatang mengerikan seperti ular, beruang, orangutan dll.
Berpuluh tahun kemudian Sebangau berubah. Jalan makin terbuka dan bagus. Tempat itu menjelma menjadi tempat rekreasi cukup popular di Kalimantan Tengah. Dan lokasinya, jaraknya, seakan hanya ada di ujung hidung bagi mereka yang sudah menjejakkan kaki di Palangkaraya.
Kalau rindu harus dituntaskan, demikian ujar sebuah petikan sebuah kalimat di sebuah novel, yang pernah saya baca, tapi lupa judulnya. Provokatif tapi bisa jadi benar. Rindu tak dituntaskan bisa menjelma macam-macam. Bisa jadi penyakit, dan minimal menjadi rindu akut….
Rindu pada Sebangau pun demikian juga. Apalagi, seorang teman, yang memiliki usaha travel berkaitan dengan “bisnis wisata” di Kalimantan Tengah menitip pesan, “Bantuin ya Om promosiin Taman Nasional Sebangau, juga usaha saya…..” katanya. Permintaan ini langsung menjadi prioritas utama. Rindu menjadi prioritas kedua….Ya bagaimana bisa membantu jika tidak ke Sebangau? Bagaimana bisa menggambarkan kemolekan Sebangau jika tak melihat lekak-lekuk Taman Nasional yang secara administrasi masuk wilayah Kabupaten Katingan tersebut?
Itu sebabnya, beberapa waktu lalu, saat teman-teman menggelar acara Reuni Spekat –SMP Katolik di Palangkaraya- saya mengusulkan ada acara jalan-jalan ke Sebangau. Teman-teman setuju, apalagi ternyata banyak juga yang belum pernah ke sana. Bahkan kemudian, acara ke Sebangau ini juga digabungkan dengan acara bakti sosial, memberi sumbangan kepada para nelayan di Sebangau. Kami ke sana pada Hari Sabtu, setelah malam sebelumnya saya me-launching novel saya Rumah di Atas Kahayan.
Sebangau, yang ada Danau Sebangaunya itu, dikenal dengan keunikan sungainya, yakni air sungainya berwarna hitam —karena tanah gambut. Luasnya Taman Nasional Sebangau sekitar 542.141 hektare. Di Taman itu ada sedikitnya, demikian menurut penelitian, 182 jenis burung dan 54 spesies ular, termasuk tentu saja ular piton, sanca, dan lain-lain.
Tak jauh sekarang ke Sebangau, tak sampai satu jam. Kami datang di saat yang bisa disebut kurang pas: kemarau sudah menyentuh bumi Kalimantan, dan Sebangau terkena dampaknya. Air danau menyurut, debu ke mana-mana. “Kalau normal, air tingginya dua meter dari sekarang,” kata seorang teman menunjuk bangunan yang kini menonjol di atas air. Oh ya, ada catatan lain tentang tempat ini: kurang tertatanya jalan menuju dermaga tempat bertambatnya kapal dan perahu. Hal penting yang perlu diperhatikan untuk sebuah daerah wisata.
Pesona Sebangau langsung muncul begitu kita melihat danaunya. Hutannya yang masih tersisa, serta perahu yang bisa membawa kita berputar-putar di sana. Ada sejumlah transportasi air yang bisa disewa -saya anjurkan menyewa saja- untuk membawa kita berkeliling Sebangau sekitar 4 jam-an.
Kalau mau sedikit berpetualang, naiklah perahu bermesin. Asyik, bisa ngebut, dan bisa masuk ke sungai lebih kecil. Dengan perahu ini kita bisa menjelajah lebih jauh, hingga setengah hari, tempat-tempat mengasyikkan di Sebangau, termasuk melakukan treking di hutan. Ada guide bagi Anda yang ingin melakukan petualangan seperti ini. Jika berminat silakan hubungi penulis.
Kami memilih kapal bermuatan 30 orang untuk “jalan-jalan” ke Sebangau. Namanya reuni tentu saja meriah. Ada yang bernyanyi, menari, dan lebih banyak lagi, ya foto-fotoan. Teman-teman, termasuk yang tampaknya “pendiam” tiba-tiba ingin berfoto bak peragawati di anjungan perahu. Pemandangan hutan Sebangau dan air sungai kehitaman menciptakan latar belakang yang indah.
Di atas kapal, sejumlah teman juga menari poco-poco, sembari tertawa-tawa riang. Meriah. Sejumlah perahu yang berpapasan dengan kapal kami penumpangnya serta merta menoleh, melihat ke arah kami dan mungkin bertanya-tanya, penumpang udik dari mana yang menari-nari di atas kapal itu. “Memang jarang ada penumpang menari-nari kayak gini,” ujar pengemudi perahu –sekaligus pemilik perahu- yang bekerja sembari membawa istri dan anaknya, yang keduanya tertidur di atas tikar, sambil tersenyum. “Kalau ada gelombang besar dia terbangun. Kalau gelombang kecil makin lama tidurnya,” katanya lagi sambil menunjuk anaknya yang mungkin umurnya masih di bawah satu tahun.
Sekitar 3 jam-an kami menyusuri sungai Sebangau, melihat kiri kanan hutan sebelum akhirnya kembali ke dermaga.
Saya ingin suatu ketika kembali ke Sebangau lagi, berperahu di musim yang tidak kemarau, menghirup bau air sungai yang bergambut. Juga menari-nari di atas kapal….(Dikutip dari www.catatanbaskoro.wordpress.com)