Kayu Ulin dan Ritual Pendirian Rumah Betang
BETANG atau rumah tradisional Dayak didirikan dengan tidak memakai bahan sembarang kayu. Bahan utama yang dipakai adalah kayu ulin.
Kayu ulin termasuk jenis pohon besar yang tingginya dapat mencapai 50 meter dengan diameter sampai 200 cm. Pohon ulin tumbuh pada dataran rendah sampai ketinggian 400 meter di atas permukaan laut dengan medan datar sampai miring. Pertumbuhan pohon ulin biasanya tumbuh terpencar atau mengelompok dalam hutan campuran namun sangat jarang dijumpai di habitat rawa-rawa.
Pohon ulin juga tahan terhadap perubahan cuaca, suhu, kelembaban dan pengaruh air laut sehingga sifat kayunya sangat berat dan keras. Penyebutan lain untuk kayu ulin di berbagai daerah antara lain bulian, bulian rambai, onglen (Sumatera Selatan), belian, tabulin, telian, tulian dan ulin (Kalimantan) Kayu ulin tahan akan serangan rayap dan serangga penggerek batang, tahan akan perubahan kelembaban dan suhu serta tahan pula terhadap air laut. Dengan kelebihan tersebut, maka wajar jika dikatakan kayu ulin disebut sebagai kayu sepanjang masa dan kayu primadona. Kayu ini sangat sukar dipaku dan digergaji tetapi mudah dibelah.
Kayu Meranti termasuk dalam marga shorea, family dipterocarpaceae. Jumlah spesiesnya mencapai 130 jenis dan sebagian besar tumbuh secara alami di hutan Kalimantan dan Sumatera. Dalam dunia perdagangan, meranti dikenal dengan berbagai jenisnya, yaitu meranti kuning, meranti merah, dan meranti putih. Pohon meranti memiliki tinggi berkisar antara 30,40 meter sampai 70 meter dengan batang lurus dan bulat, bebas cabang dari 20 sampai 30 meter.
Pohon meranti mempunyai diameter berkisar 50, 100, hingga 450 cm dan memiliki daya tahan yang relatif baik, struktur yang agak kasar, kepadatan kayu rata-rata 630 kg/ m3, mengandung pigmen yang larut dalam air. Pada umumnya pohon meranti mengalami masa berbunga dan berbuah 4 – 7 tahun sekali dan termasuk jenis kayu yang keras dengan bobot rendah, sedang, hingga berat.
Ritual pada saat pendirian Betang
Upacara pada saat mendirikan betang pada saat mendirikan bangunan, dilakukan upacara mampendeng. Mampendeng artinya mulai mendirikan bangunan yang dimulai dengan pendirian jihi bakas hingga jihi busu.
Menurut kepercayaan Suku Dayak Ngaju, bahwa ketentraman penghuni betang, lebih banyak ditentukan oleh cara/pekerjaan pada waktu memulai membangun/mendirikan betang yang disebut mampendeng, yang tujuannya agar menghuni betang selalu hidup tentram, aman, berkecukupan, murah rejeki dan lain-lainnya.
Waktu pelaksanaannya sesaat sebelum mendirikan jihi, setelah jihi terakhir berdiri, maka disiapkan beberapa bahan seperti pahera paneweng, lakar rinjing ijr badare hapan uei anak, daren dawen enyuh ije inyewut/kambar sanggar, bindang bapetuk, edan sawang nyahu, tewu nyaru dan temu bulau. Bahan-bahan tersebut diikat pada jihit, dengan tujuan agar segala roh jahat tidak mendahului menghuni memasuki betang.
Upacara setelah betang selesai didirikan
Lumpat Huma merupakan upacara yang dilakukan setelah betang selesai dibangun dan siap untuk dihuni. Upacara ini disebut lumpat huma karena upacara ini dilakukan pada waktu pertama kali memasuki betang, dengan tujuan agar selalu mendapat perlindungan dari Tuhan mendapat rejeki melimpah, aman tentram, dijauhkan dari segala macam bahaya.
Penempatan betang, bentuk bangunan dan pembagian ruang didalamnya tentu tidak dilakukan secara sembarangan termasuk makan ukiran yang terdapat di betang, namun juga mempertimbangkan fungsi dan makna yang terkait erat dengan kepercayaan mereka, begitu pula dengan penempatan lumbung/lepau, sapundu, sandung dan tiang pantar, penempatan betang ditepi sungai merupakan hal yang banyak dilakukan oleh masyarakat dayak, bahkan bisa dikatakan betang berorietasi dengan sungai, begitu pula dengan Betang Tumbang Gagu yang berada ditepi Sungai Kalang, misalnya.
Selain dikarenakan sungai dianggap sebagai salah satu sarana komunikasi dan transportasi yang menghubungkan masyarakat dengan dunia luar disamping itu kondisi geografis Kalimantan yang didominasi sungai-sungai besar mengharuskan masyarkat beradaptasi dengan lingkungannya.
Betang yang merupakan rumah panggung, dengan tiang-tiang yang tinggi hingga mencapai 5,79 meter dari permukaan tanah, dimaksudkan agar terhindar dari serang binatang buas dan serangan dari suku lain, karena pada waktu itu tradisi ngayau masih dilakukan oleh suku dayak (sebelum adanya perjanjian Tumbang Anoi).
Pembagian ruang di dalam betang juga sangat terkait dengan kepercayaan serta sistem sosial/masyarakat, seperti Balai Kandang, penempatan balai yang berada ditengah-tengah bangunan berfungsi sebagai ruang tempat pelaksanaan upacara seperti tiwah, tempat pertemuan/musyawarah adat, perkawinan, pengobatan, kelahiran dan upacara lainnya, serta adanya jihi yang dianggap sakral juga terletak pada ruang ini.
Penempatan bilik-bilik di samping kiri dan kanan balai kandang difungsikan sebagai ruang pribadi oleh masing-masing pendiri. Sedangkan penempatan bilik yang dibentuk berjejer (dari hulu ke hilir) juga menandakan status sosial seseorang. Sebagai contoh, penempatan bilik yang berada di tengah biasanya diperuntukkan bagi kepala adat atau pihak memiliki status sosial tinggi.
Teras yang berada di depan balai kandang dan yang berada di belakang, biasa digunakan sebagai tempat menerima tamu dan juga difungsikan menjemur padi atau hasil ladang, serta sebagai penghubung antar ruang utama dengan dapur (Hartatik, 2013;50).
Aula yang berada di depan bilik biasanya difungsikan sebagai tempat berkumpul bagi para penghuni betang. Ukiran pada betang hanya ditemukan pada bagian atap atau bubungan, berupa ukiran burung enggang atau tingang, menurut kepercayaan Suku Dayak Ngaju. Burung enggang atau tingang menggambarkan dunia atas, dan juga dianggap sebagai penangkal petir. Ukiran juga terlihat pada pinggiran sisi atap yakni dawen pangintar, yang dimaksudkan agar segala sifat-sifat iri, dengki, guna-guna dan lain-lain dari orang lain dapat dihindari atau dihalau.
Beberapa rumah panjang yang ada di Kalimantan seperti Lamin Mancong, Lamin Tolan di Kalimantan Timur, Randang di Kalimantan Barat memperlihatkan asosiasi dengan benda-benda/bangunan lainnya seperti lumbung/lepau, sapundu, sandung dan tiang pantar.
Hal ini juga terlihat pada Betang Tumbang Gagu, dengan menempatkan Lumbung/lepau, sapundu, sandung dan tiang pantar di halaman depan betang. Pendirian sapundu, sandung dan tiang pantar saling terkait antara satu dengan lainnya dan biasanya terkait dengan pelaksanaan tiwah (upacara kematian). Dalam tradisi penganut kaharingan, kubur ditempatkan di halaman rumah dengan maksud agar keluarga yang ditinggalkan setiap hari bisa melihat dan menjaga kubur leluhurnya sehingga hubungan batin di antara mereka tidak terputus (Hartatik,2009:247).
Lumbung/lepau difungsikan sebagai tempat menyimpan padi, walaupun kini lepau sudah tidak digunakan seperti sebelumnya. Dengan adanya lumbung ini mengindikasikan bahwa penghuni betang ini dulunya bercocok tanam/berladang dengan sistem tadah hujan. Sementara pendirian sapundu mempunyai aturan-aturan sendiri, biasanya dalam pendirian sapundu mensyaratkan pengurbanan 1 (satu) ekor ayam.
Sapundu difungsikan sebagai tiang pengikat binatang kurban pada saat upacara tiwah, yang terdiri dari dua jenis sapundu, yakni sapundu gapit dan sapundu lepas. Sapundu gapit ditempatkan di dekat sandung yang berfungsi sebagai tanda penguburan (lambang orang yang mendirikan sanding) sekaligus orang yang pertama di-tiwah-kan. Jumah sapundu menunjukkan berapa banyak jumlah orang yang di-tiwah-kan, serta penggambaran tokoh manusia dianggap sebagai personifikasi si mati yang terkait dengan pekerjaan, kesenangan atau keahlian orang yang dikuburkan. Sedangkan sapundu lepas difungsikan sebagai tanda kebesaran atau penolak bala, yang juga erat kaitannya dengan jenis kerbau yang dikurbankan. Apabila Sapundu laki-laki, maka jenis kerbau yang dikurbankan adalah kerbau betina, begitupun sebaliknya (Hartatik,2000;58-60).
Pada Sapundu juga ditemukan adanya motif tetah/tangga terbalik dalam jumlah tertentu, yang menunjukkan banyaknya kepala yang dipenggal oleh keluarga si mati. Kegiatan mengayau dilakukan untuk memberi kekuatan semangat jiwa kepada roh. Motif ini juga ditemukan pada sandung dan tiang pantar. Sanduang difungsikan sebagai tempat menyimpan tulang belulang manusia yang telah di-tiwah-kan.
Novel langka tentang petualangan remajak Dayak dan sahabatnya: Novel Rumah di Atas Kahayan
Selain motif tetah, juga ditemukan adanya motif tumpal di dinding sandung dan motif naga pada bagian atasnya. Simbol naga merupakan simbol dunia bawah dan sebagai petunjuk jalan bagi roh menuju ke lewu tatau. Tiang pantar merupakan tiang yang tinggi sebagai simbol tangga arwah menuju lewu tatau. Sumber: https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbkaltim/2784/