Desa dalam Pusaran Kebakaran Gambut
Oleh Bambang Hero Saharjo
KENDATI telah masuk musim kemarau, namun masih terjadi hujan, fenomena ini kita kenal dengan istilah kemarau basah, tapi keberadaan titik panas atau hotspot sebagai indikasi terjadinya kebakaran hutan dan lahan di sejumlah daerah di Indonesia sudah mengkhawatirkan. Menurut data Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional per 10 Agustus 2020, jumlah hotspot kebakaran hutan dan lahan di Indonesia mencapai 9209 titik. Sebanyak 6383 di antaranya tersebar di Kalimantan Barat. Sebagian titik panas itu berada di lahan gambut. Sempat terjadi hujan beberapa hari kemudian di beberapa daerah, titik panas pun kemudian berkurang jumlahnya.
Dibandingkan tahun lalu, ketika itu pada awal Agustus sudah masuk kemarau panjang, jumlah titik panasnya tidak sebanyak saat ini. Fenomena titik panas ini terjadi karena meningkatnya upaya-upaya pembukaan atau pembersihan kawasan gambut dengan praktik membakar lahan sebagai jalan pintas. Praktik ini pada tahun-tahun sebelumnya kerap dilakukan perusahaan perkebunan sawit, pemilik konsesi Hutan Tanaman Industri (HTI), bahkan masyarakat ketika hendak bertanam.
Fenomena banyaknya titik panas pada awal Agustus ini menunjukkan ancaman kebakaran lahan dan hutan tengah mengintai kita setiap saat. Pemerintah dan semua pihak harus meningkatkan radar kewaspadaan, terutama ketika musim kemarau panjang tiba. Prioritas pengawasan terutama harus ditujukan kepada titik panas yang terdeteksi pada lahan dan hutan gambut. Kebakaran hutan di lahan dan hutan gambut lebih berisiko ketimbang yang terjadi di tanah mineral. Pengalaman 2015 dan 2019 menunjukkan luasnya lahan dan hutan gambut yang terbakar menyebabkan korban meninggal, ratusan ribu orang terjangkit Infeksi Saluran Pernapasan Atas (ISPA), puluhan juta orang terpapar asap, hingga kerugian material mencapai puluhan sampai ratusan triliun rupiah serta meningkatnya emisi gas rumah kaca.
Dalam pengendalian kebakaran lahan dan hutan secara nasional, berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, setidaknya ada tiga tindakan yang tak bisa dipisahkan dan saling terkait satu sama lain. Ketiga tindakan tersebut adalah pencegahan, pemadaman, dan penanganan pasca kebakaran yang meliputi penegakan hukum dan rehabilitasi. Tindakan paling ideal tentu saja adalah pencegahan. Untuk bisa melakukan pencegahan efektif harus dilihat dulu permasalahan utamanya kenapa kebakaran selalu berulang setiap tahun.
Permasalahan kenapa kebakaran hutan dan lahan ini terus berulang terletak pada perilaku manusianya. Jamak kita jumpai upaya pembersihan lahan untuk ditanami dilakukan dengan cara yang murah dan mudah, yakni dibakar. Untuk lahan gambut, apinya bisa merembet ke mana-mana dan menyebabkan kebakaran yang lebih luas. Ada yang motifnya menghemat biaya sehingga melakukan pembukaan lahan serampangan bahkan dengan pembakaran. ada juga segelintir perusahaan yang ingin mendapatkan keuntungan dari pihak asuransi jika lahannya hangus terbakar. Tak sedikit juga masyarakat yang masih melakukan pembukaan lahan dengan praktik bakar. Padahal, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup sudah tegas melarang pembakaran lahan dan hutan gambut, kecuali oleh masyarakat adat atau tradisional dengan luas terbatas.
Pencegahan kebakaran lahan dan hutan gambut harus dimulai di tingkat tapak bersama masyarakat. Peran desa menjadi kunci untuk keberhasilan program ini. Menurut data Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi ada sekitar 333 desa di kawasan gambut. Adapun menurut catatan Badan Restorasi Gambut, ada 525 desa sekitar lahan dan hutan gambut di tujuh provinsi yang sudah mengikuti program Desa Peduli Gambut. Selain mengembangkan ekonomi kreatif, desa-desa di sekitar gambut juga mulai mempraktikkan pengolahan lahan tanpa bakar.
Salah satu desa yang sudah menerapkan pengolahan lahan gambut tanpa bakar ini adalah Desa Teluk Bakung, Kubu Raya, Kalimantan Barat. Dipimpin seorang kepala desa dengan gelar master notaris, desa ini sudah memulai menamam keladi atau talas ungu di lahan gambut seluas 1,0 hektare dan akan bertambahn lagi tahun depan menjadi 10 hektare. Areal desa ini luasnya mencapai 60 ribu hektare, sebagian merupakan lahan dan hutan gambut. Talas ini tinggal ditanam tanpa perlu pembersihan lahan dengan cara membakar. Bersama sejumlah petani di sana, kepala desa Teluk Bakung ini sudah melakukan panen perdana tahun ini. Dengan masa tanam tujuh bulan dan harga talas ungu Rp 7 ribu per kilogram, meskipun harga pasar sesungguhnya adalah Rp 16 ribu per kilogram, omset panennya mencapai Rp 100 juta. Sehingga setiap bulan pendapatannya sekitar Rp 15 juta. Kini, petani di desa itu mulai tergiur untuk mempraktikan budi daya talas ungu tersebut. Sebagian petani juga mulai mempraktikkan budi daya singkong di lahan gambut tanpa praktik membakar lahan terlebih dahulu. Singkong ini ditanam untuk bahan tepung tapioka.
Praktik serupa juga diterapkan di Desa Lingga, Kubu Raya, Kalimantan Barat. Turun-temurun masyarakat di desa ini menanam tanaman campuran di lahan mereka. Tanaman kerasnya seperti pohon medang. Ada juga tanaman musiman seperti kopi, karet, dan merica. Masyarakat Desa Lingga sudah mengelola lahan gambutnya dengan model seperti ini puluhan tahun. Mereka biasanya akan menyesuaikan tanaman mana yang akan terus dipanen dan dipelihara dengan mempertimbangkan harga komoditas yang tengah laku di pasaran. Misalnya saat kopi sedang bagus harganya, mereka akan memanen kopinya dan untuk sementara mengurangi perhatian untuk tanaman yang lain. Hal seperti ini bagus dilakukan daripada mereka menebangnya . Dengan maraknya praktik tanam menanam oleh masyarakat di lahan gambut tanpa bakar ini tentu saja mengurangi luasan kebakaran lahan dan hutan gambut di Kubu raya dalam dua tahun terakhir. Biasanya daerah ini menjadi langganan kebakaran karena praktik pembersihan lahan dengan membakar oleh perusahaan dan masyarakat.
Sejumlah desa di Jambi juga menerapkan model pengolahan lahan gambut tanpa membakar, tapi menguntungkan. Ini misalnya dilakukan Kelompok Tani Sri Utomo di Desa Mekar Jaya Kecamatan Betara, Jambi, yang memproduksi kopi liberika. Budi daya kopi yang kerap disebut kopi Nangka ini dilakukan di lahan gambut tanpa membakar. Ada juga pengolahan madu di Desa Rantau Karya di Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Jambi. Pengelolaan lebahnya di lahan gambut. Panen madu sekitar dua minggu sekali dengan hasil 24 ton per bulan. Dengan harga saat panen Rp 100-120 ribu per kilogram tergantung kepada berapa banyak yang akan dibeli, manajer kelompok tani ini mendapatkan penghasilan bersih Rp 100 juta sebulan, sementara pegawainya berpenghasilan antara Rp 7-12 Juta per bulan.
Dengan semakin banyaknya desa-desa yang mulai mempraktikkan kegiatan penanaman di lahan gambut tanpa bakar ini menunjukkan masyarakat semakin peduli terhadap upaya pengendalian kebakaran. Pemerintah harus terus mengawal dan memberi dukungan penuh agar praktik ini terus meluas ke desa-desa lain. Desa yang langsung bersinggungan dengan kawasan gambut bisa menjadi garda terdepan dalam pencegahan kebakaran. Sejalan dengan itu, penegakan hukum untuk pemilik perkebunan sawit dan konsesi HTI yang melakukan pembukaan dan pembersihan lahan dengan membakar harus terus digalakkan. Jika dua hal ini dilakukan beriringan dan juga konsisten setiap tahun, bukan mustahil ketika musim kemarau datang, jumlah titik panas atau hotspot kebakaran lahan dan hutan berkurang signifikan. [] Penulis Guru Besar IPB. Sumber: Tempo.