Perlindungan hak adat, Perlindungan Masyarakat Adat
KONFLIK antara perusahaan sawit dan tokoh adat yang terjadi di Kalimantan Tengah mesti dihadapi secara arif. Menggunakan cara-cara kekerasan dan menafikan latar belakang pemicu peristiwa itu, berikut kondisi sosiologis dan psikhologis masyarakat adat, hanya akan membawa persoalan baru. Alih-alih terselesaikan, justru bisa berkembang lebih luas.
Konflik perusahaan sawit dan penduduk lokal tak hanya terjadi di Kalimantan Tengah. Hal sama terjadi pula di sejumlah daerah lain, misalnya, Sumatera. Persoalannya nyaris sama: masyarakat merasa tanah mereka, tanah yang telah mereka diami dan memberi kehidupan berpuluh atau beratus tahun turun temurun, tiba-tiba “hilang,” dikuasai perusahaan dengan dasar hukum, yang menurut perusahaan itu kuat. Itulah percikan konflik.
Undang-undang kita masih mengakui hukum adat. Dan masyarakat adat masih terbentuk.
Kalteng sendiri kini tumbuh suber sebagai “provinsi kelapa sawit.” Tercatat tak kurang ada 100 perusahaan kelapa sawit di bumi tambun bungai ini. Perusahaan Sinar Mas misalnya menguasai 1,6 juta hektare lahan untuk tanaman sawitnya. Dan layaknya sifat sebuah perusahaan, para pemilik perusahaan itu akan terus melakukan ekspansi.
Tak ada yang melarang untuk hal itu. Namun, di sinilah makna sebuah pemerintahan. Gubernur, bupati, para wakil rakyat, aparat kekuasaan, dan seterusnya: berkewajiban menjaga hak-hak rakyat.
Undang-undang kita masih mengakui hukum adat. Dan masyarakat adat masih terbentuk. Mereka ini harus dilindungi, bukan dikorbankan untuk kepentingan korporasi, dengan dalih apa pun. Maka, dalam konflik yang mungkin suatu saat bisa berulang, para kepala daerah yang dipilih mesti bijak dan arif dalam melihat persoalan ini. Mereka mesti berpihak pada rakyat atau minimal mendengar suara rakyat. Jika tidak alam akan menghukum mereka. (ibazspekat)