Tradisi Dayak Ngaju Lawang Sakepeng,
Selain memilki kekayaan seni budaya serta kearifan lokal yang tinggi, suku Dayak Kalimantan Tengah memilki kekhasan tersendiri, terutama dalam hal tradisi maupun ritual. Tradisi maupun ritual telah menjadi adat-istiadat yang hidup di dalam suku Dayak sekaligus merupakan unsur terpenting, akar identitas bagi masyarakat Dayak itu sendiri.
Salah satunya tradisi dalam menjalankan proses pernikahan. Tradisi ini lebih kental dinamakan Lawang Sakepeng” yakni sebuah atraksi silat dari suku Dayak (utamanya Dayak Ngaju) Kalteng.
Lawang artinya pintu atau gapura, sedangkan sakepeng berarti satu keping. Lawang sakepeng biasanya dibuat dari kayu dengan lebar kurang lebih 1,5 meter dengan tinggi 2,3 meter, bagian atasnya di ukir dengan tanaman rambat dan hiasan burung Enggang, bagian sisi sampingnya dihiasi dengan janur atau daun kelapa muda serta telawang. Lawang Sakepeng ini dulunya sering diperagakan pada upacara adat baik untuk menyambut tamu maupun acara pernikahan. Namun saat ini, tradisi Lawang Sakepeng ini lebih banyak dilihat pada acara adat pernikahan.
Ada pun yang ditonjolkan dalam Lawang Sakepeng ini adalah atraksi bela diri saat menyambut dan menghormati tamu yang hadir dalam sebuah upacara adat. Seperti halnya acara pernikahan atau perkawinan, dimana dari pihak laki-laki dan perempuan ada perwakilan satu atau dua bahkan lebih pemain atau pesilat masing-masing. Bisa dimainkan oleh pesilat laki-laki maupun pesilat perempuan.
Para pesilat ini kemudian dipertemukan pada satu titik garis saling berhadapan satu lawan satu, tepatnya di bawah gapura atau lawang. Titik garis ini biasanya menggunakan benang sebagai rintangan, dimana pada benang itu dipasang bunga warna warni. Tali penghalang ini menjadi pertemuan para pesilat untuk dibuka yang didahului dengan adu atraksi bela diri.
Namun begitu para pemain harus mengerti cara bermain, semisalkan kapan waktu menyerang lawan atau memukul, menangkis, tanpa harus membuat lawan atau dirinya luka. Sampai akhirnya para pemain Lawang Sakepeng harus memutuskan tali penghalang tadi.
Bentuk permainan bela diri yang dibawakan oleh para pesilat Lawang Sakepeng di Kalteng ini, lazimnya memiliki gerakan khas semacam silat, sebagaimana tradisi sejenis seperti Palang Pintu dari Betawi. Maupun dari Sumatera. Hanya saja para pesilat di Kalteng, memiliki cara serta gerak khusus bela diri, bahkan beragam macam bentuk atraksinya. Atraksi Lawang Sakepeng diiringi oleh alat musik pengiring. Biasanya berupa gendang manca dan garantung khas Dayak.
Biasanya juga para pesilat dilengkapi dengan baju rompi khas Dayak, namun sekarang tidak semuanya menggunakan rompi khas tersebut. Konon untuk gaya silat Lawang Sakepeng, oleh nenek moyang suku Dayak kala itu mengadopsi gerakan dan tingkah laku hewan. Sebut saja meniru hewan ganas atau penyerang endemik yang banyak dihuni dihutan Kalimantan. Antara lain beruang, beruk (jurus bangkui) maupun jurus lainnya yang berorientasi pada mahkluk penyerang atau pemangsa.
“Secara umum makna atau filosopi tradisi Lawang Sakepeng ini adalah untuk menjauhkan sebuah kehidupan keluarga dari berbagai rintangan, halangan maupun malapetaka. Sebab itu menjalani kehidupan harus dijalani dengan kegigihan,” kata Gauri staf Analisis Potensi Wisata pada Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Kalteng.
Menurut Gauri, bila dirunut satu persatu, maka akan banyak pemaknaan dari Lawang Sakepeng. Sebut saja kata dia, kenapa harus ada benang penghalang dan harus diputus pada gapura Lawang Sekepeng, tentu bertujuan untuk memutuskan hal-hal yang tidak baik dalam sebuah hubungan keluarga. (by Ferry S. MC Kota Palangka Raya/ mediacenter.palangkaraya.go.id)