Kerajaan Nan Sarunai, Jejak Dayak Maanyan
Kerajaan Kutai Martadipura muncul pada abad ke-4 Masehi dan selama ini diyakini sebagai kerajaan tertua di Nusantara. Namun, jauh sebelumnya, di belahan lain Pulau Kalimantan, ada kerajaan yang ternyata jauh lebih tua. Namanya Kerajaan Nan Sarunai yang diperkirakan sudah berdiri sedari zaman purba alias prasejarah.
Nan Sarunai didirikan orang-orang Dayak Maanyan, salah satu sub suku Dayak tertua di Nusantara, khususnya di Kalimantan bagian tengah dan selatan. Apakah Nan Sarunai sudah layak disebut kerajaan atau belum memang masih menjadi perdebatan. Namun, yang jelas, pemerintahan di Nan Sarunai berlangsung sangat lama.
Eksistensi Kerajaan Nan Sarunai baru berakhir setelah datang pasukan Majapahit dari Jawa pada pertengahan abad ke-14 M. Nan Sarunai diruntuhkan, orang-orang Dayak Maanyan tercerai-berai. Namun, nantinya kerajaan ini menjadi embrio terbentuknya entitas masyarakat Kalimantan Selatan, cikal-bakal Kesultanan Banjar.
Melacak Nan Sarunai
Nan Sarunai diyakini berada di Amuntai, daerah yang terletak di pertemuan Sungai Negara, Sungai Tabalong, dan Sungai Balangan yang bemuara di Laut Jawa. Daerah itu berjarak sekira 190 kilometer dari Banjarmasin, ibukota Provinsi Kalimantan Selatan sekarang.
Salah satu jejak arkeologis yang digunakan untuk melacak keberadaan Nan Sarunai adalah ditemukannya bangunan candi kuno di Amuntai. Candi ini dikenal dengan nama Candi Agung, yang dipercaya menjadi salah satu simbol eksisnya peradaban orang-orang Dayak Maanyan di masa silam.
Penelitian Vida Pervaya Rusianti Kusmartono dan Harry Widianto berjudul “Ekskavasi Situs Candi Agung Kabupaten North Upper Coarse, South Kalimantan” yang dimuat dalam jurnal Berita Penelitan Arkeologi edisi Februari 1998 menyebutkan, pengujian terhadap candi tersebut telah dilakukan pada 1996.
Hasilnya mengejutkan. Pengujian terhadap sampel arang candi yang ditemukan di Amuntai itu menghasilkan kisaran angka tahun antara 242 hingga 226 Sebelum Masehi (hlm. 19-20). Apabila benar demikian, maka Kerajaan Nan Sarunai jauh lebih tua dari Kerajaan Kutai Martadipura yang berdiri pada abad ke-4 Masehi.
Dalam perkembangannya, Nan Sarunai dikenal pula dengan beberapa nama lain, seperti Kuripan, Tabalong, hingga Tanjungpuri.
Khusus Tanjungpuri, ada perbedaan pendapat di kalangan peneliti bahwa nama ini bukanlah kerajaan yang sama dengan Nan Sarunai. Menurut Suriansyah Ideham dkk., dalam Urang Banjar dan Kebudayaannya (2007), Tanjungpuri diyakini didirikan orang-orang Melayu Sumatera yang merupakan pelarian dari Kerajaan Sriwijaya (hlm. 17).
Tanjungpuri dan Nan Sarunai diyakini dua entitas berbeda, tapi pernah berada dalam lingkup ruang dan waktu yang berdekatan. Keduanya sama-sama menempatkan pusat pemerintahannya di tepi anak Sungai Barito, termasuk Sungai Tabalong.
Kedatangan orang-orang Melayu dari Sumatera ke Borneo itu diperkirakan terjadi pada awal abad ke-11 M, menjelang keruntuhan Kerajaan Sriwijaya. Sebagian pelarian itu lalu mendirikan komunitas yang kemudian berkembang menjadi suatu pemerintahan serta hidup berdampingan dengan orang-orang Dayak Maanyan yang bernaung di bawah Kerajaan Nan Sarunai.
Alfani Daud dalam Islam dan Masyarakat Banjar: Deskripsi dan Analisis Kebudayaan Banjar (1997) mendukung kemungkinan tersebut. Menurutnya, penduduk sebagian wilayah Kalimantan Selatan berintikan orang-orang asal Sumatera, tepatnya Palembang, yang membangun tanah baru di kawasan ini dan kemudian bercampur dengan orang-orang Dayak Maanyan (hlm. 44).
Leluhur Kalimantan Selatan
Salah satu rujukan lain untuk menelisik eksistensi Kerajaan Nan Sarunai adalah Hikayat Banjar. Jejak peradaban lama di Nusantara memang kerap dilacak melalui historiografi tradisional, seperti hikayat atau babad. Historiografi tradisional, menurut Sartono Kartodirdjo dalam Historiografi Tradisional, Model, Fungsi, dan Strukturnya (1993), punya ciri-ciri menonjol dan saling berkaitan, yaitu etnosentrisme, rajasentrisme, dan antroposentrisme (hlm. 7).
Johannes Jacobus Ras dalam Hikayat Bandjar: A Study in Malay Historiography (1968) membagi Hikayat Banjar dalam dua ragam, yakni versi Kerajaan Negara Dipa yang beragama Hindu dan versi yang disusun pada era Kesultanan Banjar yang telah memeluk Islam (hlm. 238). Nan Sarunai adalah pemula dari dua kerajaan yang kemudian membentuk entitas orang-orang Kalimantan Selatan itu. Hanya saja, Hikayat Banjar, yang ditulis sepanjang 4.787 baris atau 120 halaman, tidak terlalu banyak mengulik tentang Kerajaan Nan Sarunai. Pembahasan terutama pada masa menjelang keruntuhannya.
Bab terkait Nan Sarunai dalam Hikayat Banjar menyerupai tradisi lisan, yakni nyanyian (wadian) yang ditransmisikan secara turun temurun. Dalam Struktur Birokrasi dan Sirkulasi Elite di Kerajaan Banjar pada Abad XIX (1994), M.Z. Arifin Anis menegaskan, Tradisi lisan Dayak Maanyan ini membawa kisah jika mereka sudah memiliki “negara suku” bernama Nan Sarunai
Boleh jadi istilah “negara suku” lebih tepat untuk menyebut tata pemerintahan di Nan Sarunai daripada istilah “kerajaan”, karena keberadaan peradaban orang-orang Dayak Maanyan ini terkesan “tidak diakui” sebagai kerajaan tertua di Nusantara.
Bangkit dan Runtuhnya Nan Sarunai
Alfani Daud (1997) memperkirakan bahwa terbentuknya pemerintahan Nan Sarunai pada masa prasejarah bermula dari bergabungnya beberapa komunitas adat Dayak Maanyan yang dipersatukan dalam suatu pusat kekuasaan yang lebih luas (hlm. 2).
Hal ini didukung oleh Suriansyah Ideham dkk., (2003) yang menyebutkan bahwa ketika penataan organisasi dalam pemerintahan gabungan itu bisa dijalankan—meskipun masih sangat sederhana—terbentuklah sebuah negara suku yang dikenal sebagai Kerajaan Nan Sarunai.
Ditilik dari waktunya, pengelolaan “negara” di Nan Sarunai pada masa awal masih sangat sederhana, sehingga struktur pemerintahnya pun agak sulit ditemukan. Kekuasaan tertinggi sebagai kepala suku maupun kepala pemerintahan berada di tangan seorang “raja” yang memiliki kewenangan untuk mewariskan kekuasaannya
Kendati begitu, eksistensi Nan Sarunai sebagai “negara suku” atau “kerajaan tradisional” mampu bertahan hingga ribuan tahun. Nan Sarunai dianggap sudah tidak lagi menganut konsep pemerintahan “primitif” pada awal abad ke-12 M saat dipimpin raja bernama Raden Japutra Layar yang bertakhta sejak 1309.
Sepeninggal Raden Japutra Layar, roda pemerintahan di Kerajaan Nan Sarunai secara berturut-turut dilanjutkan oleh Raden Neno (1329-1349) kemudian Raden Anyan (1349-1358). Raden Anyan yang menyandang gelar Datu Tatuyan Wulau Miharaja Papangkat Amas disebut-sebut sebagai raja terakhir Nan Sarunai.
Keruntuhan Kerajaan Nan Sarunai mulai terjadi pada masa-masa akhir pemerintahan Raden Anyan. Riset Sutopo Urip Bae yang dirujuk Abdul Rachman Patji dalam Etnisitas & Pandangan Hidup Komunitas Sukubangsa di Indonesia: Bunga Rampai Kedua Studi Etnisitas di Sulawesi Tengah dan Kalimantan Selatan (2010) menyebut bahwa kerajaan ini pernah diserang Majapahit pada 1358
Atas perintah Hayam Wuruk, pasukan Majapahit pimpinan Empu Jatmika menyerang Nan Sarunai hingga takluk. Oleh para seniman lokal, tragedi runtuhnya Nan Sarunai ini diungkapkan dalam puisi ratapan atau wadian dalam bahasa Maanyan yang disebut peristiwa “Usak Jawa” atau “Penyerangan oleh Kerajaan Jawa” (Fridolin Ukur, Tanya Jawab Tentang Suku Dayak, 1977: 46).
Kemudian, Empu Jatmika membangun kerajaan baru bernama Negara Dipa yang bernaung di bawah kekuasaan Majapahit dan menganut agama Hindu. Nantinya, Negara Dipa pun menuai keruntuhan dan pada akhirnya, sejak 1520, digantikan Kesultanan Banjar yang sudah memeluk Islam. (sumber: Tirto.id)