Novel tentang Gadis Dayak, Cahaya dari Utara

Judul Buku: Cahaya dari Utara. Kisah Aurora dari Pendahara

 Penulis: Intan Ophelia Binti

Tebal: 261 halaman.

Penerbit: Tahura Media, Banjarmasin, 2016

 

Kisah seorang gadis Dayak yang memiliki minat besar akan astronomi dan mewujudkan impian melihat aurora. Penulis meramunya dengan pemaparan detail mengenai berbagai kearifan lokal suku Dayak Ngaju.

 

INTAN  Ophelia Binti bukan perempuan Dayak biasa. Menyelesaikan sekolah menengah di tanah kelahirannya, perempuan Dayak Ngaju ini—salah satu sub-etnis Dayak terbesar di Kalimantan Tengah—kemudian melanglang buana. Dia pernah menjadi manager public relation di sebuah hotel berbintang di Bali, tinggal lama di Denmark, sebelum kemudian, kini, menetap di Bandung.

Dia juga tertarik akan banyak hal: sastra, film, tanaman, serta astronomi. Yang terakhir ini bahkan ia pelajari hingga ke luar negeri—selain juga banyak berdiskusi dengan Bambang Hidayat, pakar astronomi terkemuka Indonesia.

Ketika gerhana matahari total melintas di Indonesia awal Maret lalu, Intan pulang ke Palangkaraya, khusus demi mengajari puluhan murid sebuah SD ihwal bagaimana melihat gerhana secara benar. Untuk kerja sosial itu, ia memboyong sejumlah mahasiswa astronomi ITB.

Buku Cahaya dari Utara memang bercerita seputar “dunia” yang sangat dipahami perempuan yang juga pernah menjadi produser film anak-anak Rumah Tanpa Jendela itu: planet dan bintang-bintang. Intan meramunya dari sebuah tempat terpencil di tepi Sungai Katingan, di rimba Kalimatan Tengah hingga Kota Tromso, Norwegia, tempat paling tepat menikmati aurora. Aurora adalah fenomena alam di angkasa yang paling dikejar para penggila astronomi. Fenomena ini seperti tirai dengan gemerlap cahaya warna-warni di langit gelap yang timbul karena tumbukan partikel gas di atmosfer bumi dengan elektron bermuatan dari atmosfer matahari (hlm. 98).

Tapi yang menarik dari buku ini tak hanya detail-detail perihal astronomi, bagaimana posisi planet ketika aurora terjadi, atau kapan saat yang tepat melihat keajaiban alam itu, namun juga detail kehidupan masyarakat Dayak Ngaju sehari-hari—yang dalam hal ini terjadi di Desa Pendahara, Katingan. “Bila ingin memancing manjuhan, Aba akan pergi ke bagian sungai yang dinaungi pohon-pohon besar, terutama pohon-pohon yang buahnya dapat dimakan bila jatuh ke air” (hlm. 63).

Juga perihal tumbuh-tumbuhan. Di sini Intan menampikan sosok tambi, nenek Aurora, yang menerangkan tumbuhan apa saja yang dipakai masyarakat Dayak Ngaju untuk obat, juga bagaimana cara mengambilnya. “Jika terserang batuk, sore hari aku akan mengikuti Tambi menyadap tewu kak yang batangnya lentur di halaman rumah kami. Esok paginya kami akan mengambil hasil sadapan itu” (hlm. 67).

Cahaya dari Utara berkisah tentang kegilaan seorang pemuda Dayak, Salundik, yang sejak kecil gemar mengamati bintang-bintang. Pemuda dari udik itu kemudian mendapat lautan ilmu saat ikut kerabatnya di Banjamarmasin untuk melanjutkan sekolahnya. Kerabatnya yang dipanggilnya Bue Imis, yang digambarkan Intan sekilas sebagai aktivis partai politik (di dinding di atas radio itu tergantung gambar Sutan Sjahrir [hlm. 35]), memiliki hobi apa pun untuk seorang anak udik yang haus pengetahuan: buku, majalah, siaran radio siaran luar negeri, hingga lagu-lagu merdu dari penyanyi asing seperti Nana Mouskori.

Di rumah Bue itu pula ia mengenal Bu Katrin, guru les bahasa Inggris yang kerap melakukan perjalanan keliling dunia. Cerita-cerita ibu guru tersebut menggugah Salundik untuk bermimpi melihat aurora yang hanya bisa dilihat keindahannya dengan sempurna di dekat Kutub Utara.

Hasrat besar itu tak pernah tercapai, tapi “diturunkan” kepada Aurora, putri semata wayangnya yang mempunyai kegilaan sama dengan dirinya, mencintai dunia astronomi. Aurora berhasil kuliah di jurusan astronomi ITB dan kemudian melanjutkan studi ke Norwegia, tempat ia mewujudkan mimpi sang ayah menyaksikan aurora. Dalam perjalanannya ke Norwegia itulah Aurora berkenalan dengan seorang pria Norwegia yang kemudian mengenalkannya kepada anaknya, Jakob. Ujung cerita di negeri Skandinavia itu, Aurora juga menemukan cintanya.

Yang tertinggal setelah membaca buku ini adalah luasnya pengetahuan Intan dalam banyak hal yang dituangkan, terutama dalam dialog-dialog antara Aurora dan Jakob: soal spritualisme Sidharta, filsafat Camus dan Hermann Hesse, hingga tarian balet Pina Bausch. Novel itu juga melampirkan sepuluh cerita masyarakat Dayak Ngaju. Sayangnya, cerita dalam bahasa Dayak Ngaju tersebut tak disertai terjemahan bahasa Indonesianya. Padahal, pembaca tentu ingin tahu apa isi dan kearifan lokal yang disampaikan cerita tersebut. (L,R. Baskoro- Resensi ini dimuat di Koran Tempo, 30 April 2016)

 

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *