Kebudayaan Daerah, Literasi, juga Kepala Daerah
Oleh: Lestantya R. Baskoro —
SETAHUN lalu seorang mahasiswa sebuah perguruan tinggi di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, berkirim surat kepada saya. Ia tengah menyusun skripsi, membahas novel saya, Rumah di Atas Kahayan, yang saya terbitkan beberapa bulan sebelumnya. Rupanya, ia telah membeli novel saya secara online.
Dia mengajukan pertanyaan, seputar tentang adat Dayak Ngaju, Dayak Manyaan, dan sejumlah tanaman obat yang biasa dipakai masyarakat Dayak Ngaju yang ada di novel saya. “Ini novel menarik karena memberi informasi kekayaan alam Kalimatan dengan cara yang unik, lewat novel. Apakah ini akurat?” tanyanya.
Tiga bulan kemudian, sang mahasiswa mengirim WA kepada saya. Menerangkan sudah lulus dan mengirimkan foto beberapa lembar halaman skripnya. Dalam kesimpulannya ia menyebut sangat sulit kini mencari novel dengan latar belakang yang kental tentang Dayak.
Novel Rumah di Atas Kahayan memang saya buat dengan riset yang cukup lama. Dayak adalah sebuah etnis yang memiliki cabang “kesukuan” yang luar biasa banyaknya. Dan itu tersebar di seluruh Kalimantan dengan masing-masing memliki kekayaan budaya yang unik dan luar biasa -termasuk hal-hal “magis.”
Demikian juga Dayak Ngaju dan Dayak Manyaan -dua dari sekian puluh suku Dayak di Kalimantan Tengah- yang menjadi latar belakang novel Rumah di Atas Kahayan. Memiliki kekhasan yang sangat menarik untuk di eksplorasi. “Bab yang sangat disenangi anak saya adalah bab tentang berburu kuyang,” kata seorang pejabat di Kementerian Kelautan menunjuk novel saya. Ia pernah berdiam di Kalimantan Tengah. Kuyang adalah hantu berkepala perempuan yang dipercaya suku Dayak suka berkeliaran malam hari –dengan cara “terbang”- untuk menghirup darah bayi. Mungkin ia pernah berkisah soal kuyang itu kepada anaknya sebelum anaknya mendapat cerita, mungkin lebih detail dan menghibur, dalam novel itu.
Kembali ke pertanyaan mahasiswa dari Banjarmasin itu, apakah yang saya ceritakan dalam novel Rumah di Atas Kahayan itu akurat? Saya menjawabnya: semua berdasar data, riset, dan wawancara.
Sebuah novel, apalagi menyangkut sekelompok manusia, tidak boleh ngawur, mengada-ada. Untuk novel yang saya buat, tumbuhan obat-obatan dan fungsinya itum saya memerlukan riset dan wawancara dengan sejumlah orang di Palangkaraya yang mengenal tumbuhan itu. Prinsipnya sederhana, mungkin keterangan dalam buku itu berguna bagi orang. Tentang upacara Dayak Manyaan melepas anaknya merantau, saya mewawancarai sejumlah orang Dayak Manyaan, bertanya ritual macam apa yang dilakukan seorang bapak melepas anak remajanya merantau.
***
Indonesia yang kaya dengan ragam budaya merupakan harta tak ternilai yang bisa dieksplorasi dalam karya sastra -dan sayangnya ini masih “jauh panggang dari api.” Untuk konteks Dayak dalam Rumah di Atas Kahayan tadi, hanyalah sekadar satu contoh. Sependek ingatan saya, dalam beberapa tahun terakhir novel yang berlatar belakang Dayak Ngaju (Kalimantan Tengah) adalah novel Cahaya dari Utara, karya Intan Ophelia Binti. Novel ini berkisah tentang gadis Dayak Ngaju yang terpikat pada keindahan aurora dan memburunya hingga ke kutub utara. Mendapatkannya, sekaligus cintanya. Intan “menghiasi” halaman-halaman novelnya perihal kekayaan flora fauna dan cerita-cerita (dongeng) masyarakat Dayak Ngaju.
Kita tahu tingkat literasi masyarakat kita rendah sekaligus kita tidak bisa menyalahkan siapa-siapa perihal miskinnya karya sastra kita berlatar belakang sejarah, budaya, atau adat sebuah etnis. Padahal, sesungguhnya, melalui novel, seorang penulis memiliki kebebasan membedah, membeberkan, mengabarkan, dan bahkan menganalisasi sebuah kebudayaan dengan asyik. Dan dalam abad kecanggihan informasi seperti sekarang ia memiliki kesempatan besar untuk dibaca oleh siapa pun.
Dalam kemiskinan literasi dan novel seperti inilah, semestinya pemerintah daerah hadir. Di Indonesia ada sekitar 400 kabupaten/kota dan kita bisa bertanya, berapa di antaranya yang menaruh perhatian besar pada literasi atau lebih menukik lagi, memiliki kasadaran nilai-nilai budaya daerahnya bisa didokumentasikan, bisa disebarkan, bisa didiskusikan dengan mewujudkannya melalui karya sastra.
Para kepala daerah yang mengeluarkan miliaran rupiah untuk kampanye semestinya tidak pelit untuk mengeluarkan sekadar puluhan juta, misalnya, dengan menunjuk sejumlah penulis lokal menulis buku-buku berkaitan dengan kebudayaan wilayahnya. Dan angle membuat karya semacam ini sangat banyak.
Atau misalnya, yang juga praktis, membuat lomba -setiap peringatan hari jadi daerah itu- penulisan novel, cerita yang mengangkat tema atau berlatar belakang budaya daerahnya. Hal seperti ini niscaya akan merangsang para penulis lokal untuk menciptakan karya mereka sekaligus, pada gilirannya, memberi sumbangan penggalian -minimal pendokumentasian- kebudayaan daerah.
Dengan era otonomi sekarang yang layak mendapat pujian memang tak hanya kepala daerah yang bisa menyediakan fasilitas kesehatan gratis untuk warganya, tapi juga mereka yang bisa menciptakan daerahnya sebagai inkubator lahirnya karya sastra yang mengangkat nilai-nilai sejarah, kebudayaan daerahnya. Karya yang kental dan berdimensi antropologi. []
(artikel ini sudah dimuat di borobudurwriters.id)
Lestantya R. Baskoro, wartawan dan novelis. Penulis novel Rumah di Atas Kahayan. Email: lestantyabaskoro@gmail.com.