Tiwah, Upacara Kematian Dayak Ngaju Kalimantan Tengah
Tiwah atau Tiwah Lale atau Magah Salumpuk Liau Uluh Matei adalah upacara kematian yang dilakukan Suku Dayak Ngaju, Kalimantan Tengah. Upacara Tiwah merupakan upacara sakral terbesar dalam Suku Dayak.
Tiwah bertujuan untuk mengantarkan jiwa atau roh manusia yang telah meninggal dunia menuju tempat yang dituju yaitu Lewu Tatau Dia Rumpang Tulang, Rundung Raja Dia Kamalesu Uhate, Lewu Tatau Habaras Bulau, Habusung Hintan, Hakarangan Lamiang atau Lewu Liau yang letaknya di langit ke tujuh.
Pada tahun 2014, upacara Tiwah telah dimasukan ke dalam penetapan Warisan Budaya Tak benda Indonesia oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Upacara Tiwah memiliki durasi selama tujuh hingga empat puluh hari. Sebagai upacara sakral terbesar bagi masyarakat Dayak Ngaju, penyelenggaraan upacara Tiwah harus berjalan secara sempurna. Penyelenggara harus cermat terhadap segala persiapan dan pelaksanaannya.
Bila dalam pelaksanaan upacara Tiwah terjadi kekeliruan atau pelaksanaanya tidak sempurna, maka keluarga yang ditinggalkan dipercaya akan menanggung beban berat seperti rejekinya tidak lancar dan kesehatannya terganggu.
Upacara Tiwah biasanya dilangsungkan pada saat setelah musim panen padi, yakni sekitar Mei, Juni dan Juli. Pemilihan waktu setelah panen dikarenakan pada waktu tersebut orang-orang memilki cadangan pangan yang cukup bagi anggota keluarga yang akan menyelanggarakan upacara Tiwah.
Bagi masyarakat Dayak Ngaju pemeluk agama Kaharingan, kematian merupakan hal akhir yang dijalani manusia. Bagi mereka, kematian hanyalah awal untuk mencapai dunia kekal abadi yang menjadi tempat asal manusia. Dunia kekal abadi tersebut adalah dunia roh tempat manusia mencapai titik kesempurnaanya. Dalam mitos suku Dayak Ngaju, awalnya manusia tidak mengenal kematian. Hal tersebut dikarenakan kehidupan duniawi adalah sesuatu yang kekal. Namun, suatu ketika manusia berbuat kesalahan dan akhirnya kekekalan hidup duniawinya dicabut oleh dewata.
Manusia yang meninggal akan melanjutkan perjalanannya ke dunia para arwah. Manusia yang telah berganti wujud menjadi arwah ini disebut dengan Lio/Liau/Liaw. Liau oleh masyarakat Dayak Ngaju wajib diantar ke dunia arwah yakni alam tertinggi yang disebut Lewu Liaw atau Lewu Tatau. Proses pengantaran ini melalui serangkaian upacara kematian, yakni upacara Tiwah.
Liaw terbagi atas tiga jenis yakni:
- Salumpuk liaw haring kaharingan, yakni roh rohani dan jasmani,
- Salumpuk liaw balawang panjang, yakni roh tubuh/badan,
- Salumpuk liaw karahang tulang, yaitu roh tulang belulang.
Upacara Tiwah bagi masyarakat Dayak Ngaju dianggap sesuatu yang wajib secara moral dan sosial. Pihak keluarga yang ditinggalkan merasa memilki kewajiban untuk mengantar arwah sanak saudara yang meninggal ke dunia roh. Selain itu, dalam kepercayaan Dayak Ngaju, arwah orang yang belum diantar melalui upacara Tiwah akan selalu berada di sekitar lingkungan manusia yang masih hidup. Keberadaan mereka dianggap membawa gangguan berupa munculnya peristiwa gagal panen, penyakit, dan bahaya-bahaya lainnya.
Tiwah biasanya dibimbing oleh seorang “Basir” yang sering disebut “Basir Duhung Handepang Telun,” bersama Basir Upu, Basir Panggapit dan Basir Pendamping.
Pada waktu upacara mengenakan pakaian kebesaran seperti Raja Pampulau Hawun, Randin Talampe Batanduk Tunggal. (sumber: wikipedia/Kompas).