Kuntau Bangkui, Silat Suku Dayak Ngaju
Dayak Ngaju memiliki seni silat yang tak kalah dahsyat dengan silat daerah lain. Namanya: Kuntau Bangkui yang sampai dapat digunakan sebagai seni bela diri khas Dayak Ngaju.
Terinspirasi dari Gerakan Kera
Setiap gerakan di dalam seni bela diri Kuntau Bangkui terinspirasi dari pola gerakan bertahan dan menyerang kawanan kera, yang banyak ditemukan di Pulau Kalimantan. Masyarakat Dayak di Kalimantan Tengah mengenal kera ini dengan sebutan Beruk sedangkan sebagian orang lebih mengenalnya sebagai Kera Ekor Babi.
Beruk jarang sekali berburu sendirian, kera ini selalu berkelompok dan hidup di dalam kawanan besar. Namun, mereka akan bergerak dalam kelompok kecil saat mencari makanan. Bagaimana sebuah bela diri tradisional bisa meniru gerakan sekawanan beruk?
Semua itu bermula sekitar abad ke-5. Alkisah, ada seorang pemburu yang sedang menyusuri lebatnya belantara Kalimantan Tengah. Di tengah perjalanan, dia bertemu kawanan kera berekor pendek dengan bulu lebat yang berwarna kemerahan, yaitu beruk atau “Bangkuis” dalam bahasa Dayak Ngaju.
Dia pun berpikir untuk membunuh salah satu beruk sebagai hasil buruan. Maka, dia segera mengambil tombak dan melemparkannya ke arah kawanan kera tersebut. Ajaibnya, Beruk-beruk itu dapat menghindar dari lemparan tombak sang pemburu, bahkan sampai dua kali. Pemburu itu pun kebingungan dan berusaha untuk melarikan diri.
Ternyata, pemburu tersebut tidak dapat melarikan diri dengan mudah. Kawanan beruk tadi mencoba menyerangnya ketika dia lengah. Dengan sigap, pemburu mencabut mandau lalu mengayunkannya ke arah para beruk yang mencoba menyerang.
Sialnya, tidak satu pun tebasan mandau miliknya mengenai beruk-beruk itu. Malahan, kawanan beruk tersebut berhasil menghindar, lalu memanjat pohon seakan-akan menunggu sebuah kesempatan untuk menyerang si pemburu.
Akhirnya, si pemburu mencoba cara terakhir. Dia pun mengambil beberapa damek, anak sumpit dari wadahnya lalu melesatkannya beberapa kali ke arah kawanan beruk. Dengan lihai, para beruk kembali berhasil menghindari tiupan sumpit sang pemburu, lalu mencoba menyerang selagi pemburu tersebut lengah.
Singkat cerita, pemburu tadi berhasil meloloskan diri dari amukan kawanan beruk. Dalam perjalanan pulang, dia memikirkan setiap gerakan yang dilakukan kawanan beruk tersebut. Mereka tidak hanya bergerak lincah dan cepat untuk menghindar dari setiap serangan sang pemburu, tetapi juga membuat pertahanan yang seolah-olah terencana.
Mereka hanya menyerang saat pemburu lengah atau mencoba melarikan diri. Gerakannya terlihat seperti perpaduan antara menghindar dan menyerang. Dari sinilah, sang pemburu mengembangkan bela diri yang memiliki gerakan mirip seperti pola serangan beruk, yaitu Kuntau Bangkui.
Mundur, menyerang, mundur, menghindar
Kuntau Bangkui memiliki gerakan yang berbeda dari seni bela diri yang lain. Jika kebanyakan bela diri lebih bertumpu pada pola menyerang secara agresif untuk mengalahkan musuh, Kuntau Bangkui lebih mengutamakan gerakan bertahan kemudian menyerang.
Ketika ada serangan, pesilat Kuntau Bangkui akan menghindari serangan dengan cepat. Oleh karena itu, filosofi gerakan Kuntau Bangkui adalah mundur, menyerang, mundur, dan menghindar.
Berkat filosofi gerakan itulah para praktisi beladiri ini dituntut untuk memiliki stamina yang prima dan ketangkasan yang baik, ditambah dengan kemampuan prediksi yang andal agar dapat mengantisipasi serangan lawan dengan cepat. Tentu saja, semua hal tersebut tidak dapat dipelajari dalam satu malam ataupun satu hari saja.
Pada pertunjukkan Kuntau Bangkui, kedua pesilat biasanya akan dipisahkan sejauh 3,5 meter. Kontak tubuh antara kedua pesilat jarang terjadi di dalam pertunjukkan. Ketika salah satu pesilat terancam, lawannya akan mengantisipasi, menghindar, lalu menyerang balik. Posisi tangan kedua pesilat pun selalu terbuka. Saat melancarkan serangan, salah satu sisi tangan bergerak seperti sebuah sabetan ke arah tubuh lawan.
Sudah Mulai Langka
Dewasa ini, Kuntau Bangkui semakin langka ditemui meskipun ada beberapa praktisi bela diri yang mulai mengenalkan Kuntau Bangkui kepada masyarakat luas, khususnya di Kalimantan Tengah. Pertunjukkan Kuntau Bangkui biasanya diadakan pada acara Lawang Sakepeng, yaitu sebuah acara yang termasuk dalam prosesi pernikahan adat khas Dayak Ngaju.
Namun, tujuan Lawang Sakepeng bukanlah untuk mengalahkan musuh, tetapi hanya untuk memutus rintangan seperti yang terlihat pada gambar. Setelah rintangan itu putus, selesai pulalah pertunjukkan Kuntau Bangkui.
Sebagai bela diri asli Indonesia, Kuntau Bangkui dapat menjadi salah satu kekayaan budaya dan warisan nenek moyang yang harus kita lestarikan. Indonesia, dengan ratusan tradisi yang lahir dari keanekaragaman suku, memiliki begitu banyak keunikan di setiap jengkal wilayahnya. Salah satunya adalah beladiri Kuntau Bangkui khas Dayak Ngaju yang patut kita banggakan. (sumber: goodnewsfromindonesia.id)
Sebagai beladiri asli nusantara, pencak silat sudah terkenal di seluruh Indonesia hingga dunia. Ditambah lagi, kepopuleran silat pun terlihat pada salah satu film karya anak bangsa berjudul “The Raid”. Iko Uwais, Cecep Rahman, dan Yayan Ruhian memperkenalkan silat di kancah perfilman dunia sebagai salah satu bela diri mematikan dan efektif dalam melumpuhkan musuh.
Namun, tahukah kawan GNFI bahwa ada silat yang berasal dari Kalimantan, khusunya Kalimantan Tengah? Silat ini berasal dari suku Dayak Ngaju dan kerap kali disebut sebagai Silat Bangkui, atau lebih dikenal sebagai Kuntau Bangkui. Menarik, bukan? Mari kita lihat sejarah dan asal mula Kuntau Bangkui, sampai dapat digunakan sebagai seni bela diri khas Dayak Ngaju.
Terinspirasi dari Gerakan Kera
Setiap gerakan di dalam seni bela diri Kuntau Bangkui terinspirasi dari pola gerakan bertahan dan menyerang kawanan kera, yang banyak ditemukan di Pulau Kalimantan. Masyarakat Dayak di Kalimantan Tengah mengenal kera ini dengan sebutan Beruk sedangkan sebagian orang lebih mengenalnya sebagai Kera Ekor Babi.
Beruk jarang sekali berburu sendirian, kera ini selalu berkelompok dan hidup di dalam kawanan besar. Namun, mereka akan bergerak dalam kelompok kecil saat mencari makanan. Bagaimana sebuah bela diri tradisional bisa meniru gerakan sekawanan beruk?
Semua itu bermula sekitar abad ke-5. Alkisah, ada seorang pemburu yang sedang menyusuri lebatnya belantara Kalimantan Tengah. Di tengah perjalanan, dia bertemu kawanan kera berekor pendek dengan bulu lebat yang berwarna kemerahan, yaitu beruk atau “Bangkuis” dalam bahasa Dayak Ngaju.
Dia pun berpikir untuk membunuh salah satu beruk sebagai hasil buruan. Maka, dia segera mengambil tombak dan melemparkannya ke arah kawanan kera tersebut. Ajaibnya, Beruk-beruk itu dapat menghindar dari lemparan tombak sang pemburu, bahkan sampai dua kali. Pemburu itu pun kebingungan dan berusaha untuk melarikan diri.
Ternyata, pemburu tersebut tidak dapat melarikan diri dengan mudah. Kawanan beruk tadi mencoba menyerangnya ketika dia lengah. Dengan sigap, pemburu mencabut mandau lalu mengayunkannya ke arah para beruk yang mencoba menyerang.
Sialnya, tidak satu pun tebasan mandau miliknya mengenai beruk-beruk itu. Malahan, kawanan beruk tersebut berhasil menghindar, lalu memanjat pohon seakan-akan menunggu sebuah kesempatan untuk menyerang si pemburu.
Akhirnya, si pemburu mencoba cara terakhir. Dia pun mengambil beberapa damek, anak sumpit dari wadahnya lalu melesatkannya beberapa kali ke arah kawanan beruk. Dengan lihai, para beruk kembali berhasil menghindari tiupan sumpit sang pemburu, lalu mencoba menyerang selagi pemburu tersebut lengah.
Singkat cerita, pemburu tadi berhasil meloloskan diri dari amukan kawanan beruk. Dalam perjalanan pulang, dia memikirkan setiap gerakan yang dilakukan kawanan beruk tersebut. Mereka tidak hanya bergerak lincah dan cepat untuk menghindar dari setiap serangan sang pemburu, tetapi juga membuat pertahanan yang seolah-olah terencana.
Mereka hanya menyerang saat pemburu lengah atau mencoba melarikan diri. Gerakannya terlihat seperti perpaduan antara menghindar dan menyerang. Dari sinilah, sang pemburu mengembangkan bela diri yang memiliki gerakan mirip seperti pola serangan beruk, yaitu Kuntau Bangkui.
Mundur, menyerang, mundur, menghindar
Kuntau Bangkui memiliki gerakan yang berbeda dari seni bela diri yang lain. Jika kebanyakan bela diri lebih bertumpu pada pola menyerang secara agresif untuk mengalahkan musuh, Kuntau Bangkui lebih mengutamakan gerakan bertahan kemudian menyerang.
Ketika ada serangan, pesilat Kuntau Bangkui akan menghindari serangan dengan cepat. Oleh karena itu, filosofi gerakan Kuntau Bangkui adalah mundur, menyerang, mundur, dan menghindar.
Berkat filosofi gerakan itulah para praktisi beladiri ini dituntut untuk memiliki stamina yang prima dan ketangkasan yang baik, ditambah dengan kemampuan prediksi yang andal agar dapat mengantisipasi serangan lawan dengan cepat. Tentu saja, semua hal tersebut tidak dapat dipelajari dalam satu malam ataupun satu hari saja.
Pada pertunjukkan Kuntau Bangkui, kedua pesilat biasanya akan dipisahkan sejauh 3,5 meter. Kontak tubuh antara kedua pesilat jarang terjadi di dalam pertunjukkan. Ketika salah satu pesilat terancam, lawannya akan mengantisipasi, menghindar, lalu menyerang balik. Posisi tangan kedua pesilat pun selalu terbuka. Saat melancarkan serangan, salah satu sisi tangan bergerak seperti sebuah sabetan ke arah tubuh lawan.
Sudah Mulai Langka
Dewasa ini, Kuntau Bangkui semakin langka ditemui meskipun ada beberapa praktisi bela diri yang mulai mengenalkan Kuntau Bangkui kepada masyarakat luas, khususnya di Kalimantan Tengah. Pertunjukkan Kuntau Bangkui biasanya diadakan pada acara Lawang Sakepeng, yaitu sebuah acara yang termasuk dalam prosesi pernikahan adat khas Dayak Ngaju.
Namun, tujuan Lawang Sakepeng bukanlah untuk mengalahkan musuh, tetapi hanya untuk memutus rintangan seperti yang terlihat pada gambar. Setelah rintangan itu putus, selesai pulalah pertunjukkan Kuntau Bangkui.
Sebagai bela diri asli Indonesia, Kuntau Bangkui dapat menjadi salah satu kekayaan budaya dan warisan nenek moyang yang harus kita lestarikan. Indonesia, dengan ratusan tradisi yang lahir dari keanekaragaman suku, memiliki begitu banyak keunikan di setiap jengkal wilayahnya. Salah satunya adalah beladiri Kuntau Bangkui khas Dayak Ngaju yang patut kita banggakan. (sumber: goodnewsfromindonesia.id)